Senin, 06 Juni 2011

Pembusukan Daging

Pembusukan makanan disebabkan oleh aktivitas mikrobial pada makanan tersebut atau karena pelepasan enzim intraseluler dan ekstraseluler mikrobial pada makanan tersebut. Parameter kebusukan makanan antara lain perubahan warna, aroma (bau), tekstur, bentuk, terbentuknya lendir, terbentuknya gas, dan akumulasi cairan. Pembusukan makanan oleh mikroba terjadi lebih cepat daripada pembusukan karena enzim intraseluler dan ekstraseluler. Makanan mentah dan yang telah diproses mengandung berbagai macam kapang, khamir, dan bakteri yang mempunyai kemampuan untuk berkembang biak dan menyebabkan kebusukan.  Perkembangbiakan mikroba ini menjadi sangat penting pada proses pembusukan karena bakteri memerlukan waktu yang cepat, diikuti oleh khamir dan kapang. Mikroorganisme pembusuk memperoleh kebutuhan dari makanan untuk tumbuh yang berasal dari karbon, nitrogen, vitamin, dan mineral. Ketersediaan zat-zat ini dalam makanan bervariasi tergantung temperatur, ketersediaan air, tekanan osmose, pH, potensial oksidasi reduksi, dan tekanan atmosfer.
Hasil-hasil metabolit yang diproduksi selama proses pembusukan antara lain alkohol, komponen sulfur, keton, hidrokarbon, pigmen floresens, asam organik, karbonil, dan diamin. Pembusukan makanan disebabkan oleh faktor-faktor intrinsik antara lain aktivitas air (aw), pH, potensi oksidasi-reduksi, kandungan nutrisi, kandungan antimikrobial, dan struktur protein. Makanan yang mengandung aw rendah (kurang dari 0,90) dan pH yang rendah (kurang dari 5,3) lebih tahan terhadap pembusukan dibandingkan dengan makanan yang mengandung aw lebih dari 0,98 dan pH lebih tinggi dari 6,4. Tetapi kapang dan khamir dapat tumbuh pada kondisi ini (Ray dan Bhunia 2008).
Pembusukan makanan sering terjadi pada daging. Daging  adalah produk makanan yang sangat sangat cepat rusak (highly perishable) karena komposisi biologisnya (Zhou et al. 2010). Daging adalah semua jaringan  hewan dan produk hasil pengolahan jaringan-jaringan tersebut  yang  sesuai untuk dimakan serta tidak menimbulkan gangguan kesehatan bagi yang mengkonsumsinya (Soeparno, 1998). Daging kaya dengan nutrien matriks yang sangat cocok untuk pertumbuhan bakteri pembusuk dan bakteri patogen. Oleh karena itu diperlukan metode yang tepat untuk mempertahankan keamanan dan kualitas daging (Aymerich et al. 2008).
Kebusukan pada daging ditandai dengan bau busuk, pembentukan lendir, perubahan tekstur, terbentuknya pigmen (perubahan warna), dan perubahan rasa (Adams & Moss 2008). Perubahan warna disebabkan oleh elaborasi pigmen asing dari pseudomonas. Bau busuk dibentuk terutama oleh bakteri anaerob melalui dekomposisi protein dan asam amino yang akan menghasilkan indole, metilamin, dan H2S (Lawrie 2003).
Setelah hewan disembelih, karkas dapat terkontaminasi oleh feses, isi lambung, dan kulit. Kontaminasi silang dapat terjadi pada saat proses penyembelihan seperti dari alat-alat penyembelihan, bangunan, kontak oleh manusia, dan kontak antar karkas. Mikroba yang mengkontaminasi ini non patogen tetapi dapat menyebabkan kebusukan. Teknik dekontaminasi ditargetkan mengurangi atau menghilangkan bakteri patogen atau bakteri pembusuk. Bakteri-bakteri yang sering berperan sebagai pembusuk adalah Pseudomonas, Acinetobacter/Moraxella, Aeromonas, Alteromonas putrefaciens, Lactobacillus, dan Brochothrix thermosphacta (Huffman 2002).
Flora utama yang bertanggung jawab pada pembusukan daging segar selama penyimpanan aerobik adalah spesies pseudomonas. Spesies pseudomonas ini dominan pada daging unggas, daging babi, daging sapi, dan daging domba. Pseudomonas fragi dan Pseudomonas fluorescens menyebabkan penurunan kualitas daging dan produk daging yang disebabkan oleh produksi protease ekstraseluler dan lipase ekstraseluler pada suhu rendah (Zhang et al. 2009)
Pseudomonas fluorescens adalah bakteri batang gram negatif yang motil. P. fluorescens motil karena memiliki flagela pada satu kutubnya. Bakeri ini merupakan anggota gamma-proteobacteria dan merupakan bakteri yang umum hidup di tanah (Mastropaolo 2009).
Bakteri ini mendapatkan nama fluorescens karena bakteri ini  memproduksi pigmen berwarna hijau fluorescens terutama pada kondisi kurang besi (Fe).  Bakteri ini bersifat aerob obligat kecuali pada beberapa strain yang dapat menggunakan NO3 sebagai ganti dari O2(Silby & Levy 2010).
P. fluorescens bersifat psikrotofik dan beberapa strain bersifat mesotrofik (Mu et al. 2008). Bakteri psikotrofik menurut Ray & Bhunia (2008) adalah bakteri yang mampu tumbuh pada suhu di bawah 5oC namun tumbuh cepat pada suhu 10-25oC. Bakteri ini mampu tumbuh baik pada suhu lemari pendingin. P. fluorescens bersifat katalase dan oksidase positif, menghasilkan asam (memfermentasi) pada glukosa, tidak menghasilkan asam pada laktosa dan manitol. Uji methyl red voges proskauer (MRVP) negatif dan menghasilkan pigmen berwarna biru kehijauan fluorescens (Jay et al. 2003).

Pembusukan pada Daging
Masa simpan daging bergantung pada beberapa faktor di antaranya adalah jumlah dan tipe mikroorganisme yang terdapat pada daging sesaat sebelum dikemas (Ercolini et al. 2010). Jumlah mikroorganisme awal ini akan tumbuh dan berkembang biak pada daging bila mendapatkan nutrisi dan lingkungan yang cocok. Bila daging disimpan dalam suhu yang optimum untuk pertumbuhan mikroorganisme pembusuk, maka masa simpan daging akan menurun.
Pertumbuhan mikroba yang tampak pada makanan tampak dengan munculnya lendir atau koloni, degradasi struktur komponen pada makanan yang menyebabkan rusaknya tekstur, dan manifestasi yang paling dominan adalah produk kimia hasil metabolisme mikroba, terbentuknya gas, pigmen, polisakarida, bau busuk dan perubahan rasa (Adams & Moss 2008). Pembusukan pada daging tidak selalu tampak nyata dan konsumen akan menolak daging yang mengalami perubahan warna, bau busuk yang menyengat, dan pembentukan lendir.
Kontaminasi makanan ditimbulkan oleh lingkungan misalnya melalui udara, manusia, dan permukaan peralatan. Permukaan peralatan memegang kunci utama pada kontaminasi makanan. Bahan-bahan yang dikatabolisme oleh bakteri pada daging meliputi glukosa, asam laktat, asam amino, diikuti oleh nukleotida, urea, dan protein larut air Kualitas mikrobiologi daging sangat bergantung pada status fisiologis pada saat pemotongan hewan, kontaminasi pada saat pemotongan dan prosesing, suhu saat penyimpanan dan distribusi. Mikroorganisme pembusuk dapat  berasal dari saluran pencernaan atau lingkungan karena kontak hewan sebelum dan saat pemotongan hewan (Nychas et al.  2008).  
Glukosa diyakini sebagai prekursor dari timbulnya bau selama penyimpanan daging, perubahan glukosa dan laktosa dan produk hasil oksidasinya (glukonat) digunakan untuk menentukan derajat kebusukan terutama pada penyimpanan aerobik di mana pseudomonas menjadi bakteri utama pembusukan. Pseudomonas sp., Brochothrix thermosphacta, bakteri asam laktat dan Shewanella putrefaciens adalah bakteri-bakteri utama yang menyebabkan kebusukan pada daging mentah dengan pH tinggi atau rendah yang disimpan pada suhu dingin baik dalam keadaan aerobik atau dalam kemasan vakum/MAP (Nychas et al.  2008).
Penyimpanan daging merah pada suhu lemari pendingin baik dibungkus dengan plastik yang mampu ditembus oksigen maupun yang tidak dibungkus menghasilkan potensial reduksi oksidasi yang tinggi pada permukaan daging yang cocok untuk pertumbuhan bakteri psikotrofik aerob. Bakteri batang gram negatif yang non fermentatif tumbuh sangat cepat pada kondisi ini dan mendominasi mikroflora pembusuk yang tumbuh. Genus-genus yang sering muncul pada kondisi ini adalah Pseudomonas, Acinetobacter, Psychrobacter dengan spesies Pseudomonas  yang mendominasi seperti P. fragi, P. lundensis, dan P. fluorescens (Adams & Moss 2008).
Indikasi awal pembusukan pada daging segar adalah bau busuk yang timbul karena pertumbuhan mikroba mencapai jumlah 107 CFU/cm2. Pada fase ini mikroba beralih dari glukosa yang semakin menurun jumlahnya di daging menjadi asam amino yang berfungsi untuk substrat yang diperlukan untuk pertumbuhan (Adams & Moss 2008). Metabolisme mikroba menghasilkan campuran kompleks ester volatil, alkohol, keton dan sulfur yang menyebabkan timbulnya bau. Indikasi pertama kebusukan daging adalah timbulnya bau seperti keju atau mentega yang berkaitan dengan terbentuknya diasetil (2,3-butahedion), aseton (3-hidroksi-2-butanen), 3-metil-butanol, dan 2-metil propanol. Komponen-komponen ini diproduksi dari glukosa oleh bakteri anggota Enterobacetriacea, bakteri asam laktat, dan Bronchothrix thermosphacta. Pseudomonad kemudian memproduksi bau manis atau bau mirip buah (fruitty odours). Bau ini disebabkan oleh produksi ester oleh spesies Pseudomonas dan Moraxella  yang mendegradasi glukosa dan asam amino dan melalui proses esterifikasi asam dan alkohol selama fase pertama pembusukan (Adams & Moss 2008).
Daging yang disimpan pada kondisi dingin dan secara aerob  dan mengalami kebusukan, biasanya didominasi oleh bakteri Pseudomonas. Populasi bakteri Pseudomonas pada level 107-8CFU/g mengakibatkan timbulnya lendir dan bau busuk. Spesies Pseudomonas menghabiskan glukosa dan laktat daging dan mulai memetabolisme komponen nitrogen seperti asam amino (Nychas et al.  2008).  Banyak jenis bakteri yang dapat hidup pada suhu dingin penyimpanan daging, namun Pseudomonas spp. mempunyai waktu generasi yang paling cepat sehingga mendominasi populasi bakteri yang tumbuh (Ray & Bhunia 2008).
Perubahan-perubahan yang terjadi pada daging yang mengalami kebusukan adalah :

  • ·         Bau, disebabkan oleh produksi produk akhir volatil.
  •     Warna, disebabkan oleh produksi pigmen bakteri tersebut atau karena oksidasi alami komponen daging seperti oksidasi mioglobin.
  • ·         Tekstur, tekstur menjadi lunak karena proteinase.
  • ·         Akumulasi gas, disebabkan oleh produksi CO2, H2, H2S.
  • ·       Lendir, disebabkan oleh produksi dekstran, eksopolisakarida atau banyaknya sel mikroba yang tumbuh.
  • ·         Cairan, disebabkan oleh pecahnya struktur penahan hidrasi pada daging.
Pseudomonas fluorescens yang tumbuh pada daging dengan kandungan glukosa yang sedikit pertama-tama akan memetabolisme glukosa kemudian akan memetabolisme asam amino bebas dan komponen nitrogen non protein. Bila proses ini berlangsung dalam waktu lama, P. fluorescens akan memproduksi proteinase ekstraseluler untuk menghancurkan protein daging dan memproduksi peptida berukuran lebih kecil dan asam amino untuk metabolisme selanjutnya (Ray & Bhunia 2008).

Pencegahan dan Pengendalian Bakteri Pembusuk pada Daging
Dekontaminasi pasca panen
            Setelah hewan disembelih, karkas dapat terkontaminasi oleh feses, isi lambung, dan kulit. Kontaminasi silang dapat terjadi pada saat proses penyembelihan seperti dari alat-alat penyembelihan, bangunan, kontak oleh manusia, dan kontak antar karkas. Mikroba yang mengkontaminasi ini non patogen tetapi dapat menyebabkan kebusukan. Teknik dekontaminasi ditargetkan mengurangi atau menghilangkan bakteri patogen atau bakteri pembusuk. Bakteri-bakteri yang sering berperan sebagai pembusuk adalah Pseudomonas, Acinetobacter/Moraxella, Aeromonas, Alteromonas putrefaciens, Lactobacillus, dan Brochothrix thermosphacta. Cara-cara untuk dekontaminasi karkas menurut Huffman (2002) antara lain :

Pencabutan rambut dengan bahan kimia (chemical dehairing method)
Metode ini merupakan pencabutan atau penghilangan rambut dengan kimia. Prosesnya meliputi tiga tahap bakteriostatik/bakteriosidal yaitu : pengaplikasian natrium sulfida, penggunaan hidrogen peroksida, dan pencucian (rinsing) dengan asam laktat.

Penyiraman dengan air panas (hot water rinse)
Metode ini menggunakan air panas untuk menyiram karkas. Suhu air yang digunakan pada banyak Rumah Potong Hewan di Amerika Serikat adalah >74oC.

Pasteurisasi uap (steam pasteurization)
Metode ini menggunakan air panas yang disemprotkan dengan cara kondensasi yang bertujuan untuk merusak bakteri yang berada di permukaan karkas.

Vakum uap (steam vacuum)
Uap dari air dengan suhu tinggi disemprotkan ke karkas yang diikuti dengan proses vakum. Metode ini kombinasi dari menghilangkan dan atau menginaktivasi kontaminasi pada permukaan karkas. Peralatan yang digunakan meliputi vakum dan nozel semprot uap panas. Uap panas yang dihasilkan bersuhu 82-88oC.

Pencucian dengan bahan kimia
Dekontaminan kimiawi yang digunakan adalah larutan asam organik yang berfungsi menghancurkan ikatan asam pada sitoplasma sel bakteri. Bila pH intraseluler lebih tinggi daripada pKa asam, asam yang terprotonisasi akan terurai dan akan melepaskan proton ke sitoplasma mikroba, hal ini menyebabkan sitoplasma mikroba menjadi asam. Larutan asam organik yang telah disetujui USDA adalah asam asetat, asam laktat, dan asam sitrat dengan konsentrasi 1,5-2,5%.

Laktoferin
Laktoferin adalah bahan pemblokir mikrobial, laktoferin adalah protein yang mengikat besi dan mempunyai potensi sebagai antimikrobial alami pada makanan. Laktoferin ditemukan secara alami di susu, saliva, mucin, dan granula pada netrofil. Laktoferin yang digunakan pada industri diambil dari susu skim atau dari whey. Laktoferin diaplikasikan ke permukaan karkas dengan cara disemprotkan setelah hewan disembelih atau saat karkas didinginkan. Laktoferin berfungsi sebagai agen pemblokir mikrobial yang menyebabkan pelepasan mikroba baik yang hidup maupun yang mati dari permukaan biologis, menghambat pertumbuhan mikroba, dan menetralisasi aktivitas endotoksin. Laktoferin yang diaktifkan (activated lactoferrin) menghambat aktivitas bakteri patogen seperti E. coli O157:H7, Listeria monocytogenes, Salmonella spp., dan Campylobacter serta bakteri pembusuk seperti Pseudomonas spp. dan Klebsiella spp.

Metode kombinasi “Hurdle Technology”
Pencucian karkas dengan air bersuhu 35oC yang diikuti dengan pembasuhan dengan asam organik (laktat atau asetat) lebih efektif daripada metode tunggal berupa triming dengan pisau atau pencucian dengan air.

Perlakuan dengan tekanan tinggi (high pressure treatment)
Menurut Jung et al. (2003) perlakuan dengan tekanan tinggi (high pressure treatment) mampu untuk mengendalikan bakteri pembusuk serta mampu mempertahankan esensi daging dan nutrisi. Aplikasi tekanan tinggi dengan waktu singkat mampu menurunkan total flora pada daging dan menghambat waktu pertumbuhan selama satu minggu. Hal ini dapat menyebabkan proses pematangan daging berlangsung lebih lama yang berefek pada meningkatnya keempukan daging. Akan tetapi proses ini menyebabkan perubahan warna daging bila diberi tekanan lebih dari 325Mpa. Tekanan menengah (130MPa) meningkatkan warna daging menjadi lebih merah yang muncul pada beberapa hari masa penyimpanan, akan tetapi proses ini tidak cukup untuk memodifikasi jumlah mikroba pada daging. Untuk memodifikasi jumlah mikroba diperlukan tekanan yang lebih besar dari 130MPa.

Iradiasi
Salah satu teknologi untuk menjaga keamanan daging terhadap mikroba adalah melalui proses radiasi. Selain bakteri pembusuk, daging dan produk olahan daging dapat mengandung parasit dan bakteri patogen, mikroba-mikroba ini dapat dihilangkan melalui iradiasi. Iradiasi daging saat keadaan beku, saat pengemasan dengan metode Modified Atmosphere Packing (MAP), atau penambahan antioksidan dapat meminimalisir atau menghindarkan daging dan produk daging dari ketengikan (Kannat et al. 2005). Bahan yang telah disetujui oleh FAO untuk iradiasi adalah 137Cs dan 60Co (Zhou et al. 2010).

Pengemasan Makanan
            Terdapat berbagai cara pengemasan makanan, bila dikombinasikan dengan teknik penyimpanan makanan dapat digunakan untuk memperpanjang masa simpan daging, metode yang sangat diperlukan selama penyimpanan  adalah menghindarkan daging dari mikroba pembusuk dan atau tumbuhnya mikroorganisme patogen (Ercolini et al. 2010). Alternatif pengemasan makanan adalah dengan kemasan kemasan vakum, pengemasan dengan Modified Atmosphere Packaging (MAP), dan kemasan aktif mengunakan kemasan antimikrobial. Cara ini tidak mencampurkan antimikrobial langsung ke makanan tetapi menyatukan komponen antimikrobial ke film yang memungkinkan efek utamanya ke permukaan makanan yang merupakan lokasi utama pertumbuhan mikroba sehingga dapat dilokalisasi (Coma 2008).
Kemasan Vakum (Vacuum Packaging)
Kemasan ini menggunakan tiga lapisan yang terdiri dari etil vinil asetat, poliviniliden klorida, dan etil vinil asetat (Zhou et al. 2010). Kemasan vakum ini menyebabkan rendahnya kadar O2 di dalam kemasan. Rendahnya kadar O2 (oksigen) menghambat reaksi oksidasi dan menghambat pertumbuhan bakteri yang menghasilkan pigmen pada keadaan deoksimioglobin (Zhou et al. 2010).

Modified atmosphere packaging (MAP)
MAP pada daging memerlukan barier kelembapan dan gas melalui material kemasan. Hal ini memelihara lingkungan yang konstan selama masa penyimpanan. Metode yang utama adalah dengan menghilangkan atau mengubah komposisi normal atmosfer dan membuat aerobik dan anaerobik tipe kemasan. MAP yang berkadar O2 rendah dan diganti dengan gas N2 dan CO2 (Zhou et al. 2010).

Active Packaging
            Salah satu metode lain yang dapat digunakan adalah dengan pengunaan kemasan aktif (active packaging). Menurut Quintavalla & Vicini (2002) active packaging adalah jenis kemasan yang mengubah kondisi kemasan untuk memperpanjang masa simpan (shelf-life) atau untuk meningkatkan keamanan pangan sementara menjaga kualitas pangan. Kemasan aktif ini mempunyai beberapa fungsi yang tidak terdapat pada pengemasan konvensional. Fungsi-fungsi itu meliputi pencarian oksigen, kelembaban atau etilen, emisi etanol dan rasa, serta aktivitas antimikrobial. Metode tradisional untuk pengawetan makanan adalah untuk menghambat pertumbuhan mikroba, metodenya meliputi proses termal, pengeringan, pembekuan, penyimpanan dalam suhu lemari pendingin, iradiasi, MAP, dan penambahan antimikrobial atau dengan penambahan garam. Akan tetapi metode-metode ini tidak dapat diterapkan pada beberapa produk makanan seperti daging segar dan makanan siap santap (ready to eat product).
            Salah satu bentuk kemasan aktif untuk produk daging adalah kemasan antimikrobial (antimicrobial packaging). Kontaminasi pada daging terjadi pada permukaan daging pada saat pengolahan makanan, upaya untuk meningkatkan keamanan pangan dan memperlambat pembusukan dilakukan dengan pemakaian antibakterial dengan cara pencelupan atau penyemprotan. Pemakaian kemasan yang terbuat dari film yang mengandung bahan antimikrobial dapat dapat membuat proses menjadi lebih efisien dengan cara menghambat migrasi bahan antimikrobial dari material kemasan ke permukaan produk daging (Ouattara et al. 2000).


Cara kemasan antimikrobial dikelompokkan menjadi dua cara yaitu :
1.         Mengikatkan bahan antimikrobial pada permukaan kemasan. Hal ini membutuhkan struktur molekul yang besar yang cukup untuk mempertahankan aktivitas dinding sel mikroba walaupun diikat pada plastik. Bahan antimikrobial jenis ini terbatas pada enzim atau protein antimikrobial lainnnya.
2.         Melepaskan agen aktif ke permukaan pangan.
Sistem kemasan non-edible dapat mengandung tipe-tipe bahan tambahan yang  food grade pada material kemasannya. Di Jepang perak menggantikan zeolite yang dikembangkan sebagai bahan antimikroba yang ditambahkan pada plastik. Ion perak menghambat enzim-enzim metabolik dan mempunyai aktivitas antimikrobial spektrum luas. Bahan ini diaplikasikan dengan ketebalan 3-6mm pada polimer yang kontak dengan pangan. Bahan lain yang digunakan sebagai antimikrobial antara lain asam organik seperti asam sorbat, asam propionat, asam benzoat, dan asam anhidridat; bakteorisin seperti nisin dan pediosin; enzim seperti lisozim; fungisida seperti benomil dan imazalil. Modifikasi komposisi permukaan polimer dengan iradiasi elektron membuat permukaan mengandung kelompok amine yang menunjukkan aktivitas antimikrobial yang meninaktivasi organisme secara kontak. Metode ini aktif pada bufer fosfat melawan Staphylococcus aureus, Pseudomonas fluorescens, dan Enterococcus faecalis  (Quintavalla & Vicini 2002).
Lapisan dan film yang edible yang dibuat dari polisakarida, protein, dan lipid mempunyai keuntungan yang besar seperti dapat diurai secara alami, dapat dimakan, biokompatibilitas, penampilan yang estetika, dan barier terhadap oksigen dan stres fisik. Menurut Quintavalla & Vicini (2002), lapisan edibel (edible coating) dapat :

  • Dapat membantu mengurangi kehilangan kelembaban daging selama penyimpanan dingin atau beku.
  • Menahan jus pada daging segar dan karkas unggas yang dikemas pada nampan plastik komersial.
  • Mengurangi kadar ketengikan yang disebabkan oleh oksidasi lipid dan warna kecoklatan yang disebabkan oleh oksidasi mioglobin.
  • Mengurangi kebusukan dan mikroorganisme patogen pada permukaan daging yang dilapisi.
  • Mencegah kehilangan rasa yang disebabkan zat volatil dan penerimaan aroma asing.

2 komentar: